Sebelumnya disclaimer dulu karena saya pun belum mencapai tahapan yang saya inginkan.
Masih panjang jalan saya untuk berproses.
Namun, hampir seluruh hidup saya menggambar, dan penghidupan saya pun ditopang oleh menggambar.
Betapapun menyakitkannya proses: salah, gagal, kecewa, marah, sedih, murung, sakit, terluka, panas, gatal, lelah, muak, penat: itulah yang harus dihadapi.
Kata pepatah, “Laut yang tenang tidak menciptakan pelaut andal.”
Kutipan pepatah itu kupikir benar adanya dalam aktivitas saya berkesenian dan melakoni pekerjaan sebagai pemural.
Saya melakoni proses mural mulai dari promosi, dokumentasi, publikasi, meeting dan pitching dengan klien, brief desain, sketsa desain, penyusunan anggaran, pengajuan biaya, eksekusi, pengiriman invoice, hingga dokumen administrasi lainnya.
Saya jalani semua, ketika kadang rasanya lelah luar biasa dan ingin mencari tangan-tangan lain untuk meneruskan kerja-kerja yang saya lakukan.
Tapi tak ada pilihan, karena bagaimanapun, saya menganggap karya merupakan anak immortal, anak abadi yang akan selamanya hidup.
Saya belajar setiap kesalahan dan kendala, bagaimana mengatur mekanisme penawaran, usaha menggaet dan meyakinkan klien.
Semua itu saya pikir ilmu yang lumrah pada umumnya, namun ternyata berharga ketika ada kawan yang mengatakan ia mengalami banyak kendala dalam melakoni usaha sejenis dengan saya.
Awalnya saya iba dan memberikannya masukan dari pengalaman yang saya lakoni.
Ternyata apa yang saya tawarkan tidak bisa dia aplikasikan, karena dimensinya berbeda.
Ia memotong proses yang saya jalani, dan ia tak menjalani kesulitan yang saya lakoni.
Penyelarasan pengalaman dan wawasan menjadi tidak seimbang dan solusi yang saya tawarkan tak sesuai dengan kualifikasinya.
Dari pengalaman dan wawasan saya, saya sadar, dalam belajar, proseslah yang membentuk kita.
Sama seperti memasak, untuk mengejar makanan matang, bisa dengan api besar dan api kecil.
Logika sederhana, api kecil membuat proses memasak menjadi lama, api besar membuat proses menjadi cepat.
Tapi ternyata, level api mempengaruhi hasil dan cita rasa makanan.
Tampilan, tekstur, tingkat kematangan, hingga biaya dan durasi proses berpengaruh dari level api.
Saya tentu ingin menikmati makanan yang rasa dan segala di dalamnya saya sukai, tidak terlalu matang, tidak terlalu mentah.
Membuat perut saya kenyang dan hati saya bahagia setelah menikmati makanan tersebut.
Demikianlah karya saya, ingin membuat hati orang lain kenyang dan bahagia ketika melihat karya saya, maka saya harus menguasai bahan, cara memasak, dan level api yang saya lakukan.
Proses membuat mie instan pun akan berbeda hasilnya bila keping mie dimasukkan ketika air masih suhu normal dan ketika air sudah mendidih.
Proses ini harus tepat, sesuai momen, tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lama.
Banyak yang ingin memotong jalan pintas dan menanggalkan proses, padahal proses inilah kunci menuju ketepatan penanganan dan kenikmatan hasil.
Mari berkarya, mari nikmati prosesnya, mari rayakan kebahagiaan bersama.
Semarang, 19 Agustus 2024
Arief Hadinata alias Hokage